Jumat, 04 Maret 2011

Kebijakan Bank Indonesia

Kebijakan mengaitkan loan to deposit ratio (LDR) dengan giro wajib minimum (GWM) masih berada di persimpangan jalan. Beberapa bankir masih silang pendapat. Ada yang pro dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) tersebut, banyak pula yang masih memperdebatkan kebijakan tersebut, atau dalam kata sederhana, tidak setuju. Soalnya, terletak pada tata cara penghitungan LDR itu sendiri.

Yang pro—dalam hal ini para bankir—terhadap kebijakan BI adalah mereka yang tetap pada pengertian loan atau kredit, seberapa besar bank menyalurkan kredit ke sektor riil atau dalam hal ini benar-benar menjalankan fungsi intermediasi. Bank menyalurkan kredit kepada dunia usaha dalam bentuk kredit.

Sementara, sebagian besar bankir menyebutkan bahwa penghitungan LDR bisa memasukkan unsur surat-surat berharga (SSB). Alasannya, toh bank menyalurkan kredit secara tidak langsung, karena membeli obligasi korporasi yang pada akhirnya untuk mengembangkan usaha.

Kedua pendapat itu sama-sama dapat diterima karena kebijakan BI memang ditekankan agar bank-bank giat menyalurkan kredit. Kelebihan likuiditas bank-bank tidak “disekolahkan” di BI dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Di sisi lain, bank-bank yang kurang sependapat tidak kehilangan keuntungan jika SSB tidak dihitung dalam LDR, karena harus lebih banyak menempatkan likuiditasnya dalam bentuk GWM.

Selama tiga bulan pertama tahun ini, persoalan mendasar yang dialami perbankan nasional adalah mandeknya fungsi intermediasi. Selama satu tahun terakhir, kredit hanya tumbuh 11%, bahkan dibandingkan dengan akhir 2009 terjadi penurunan outstanding kredit.

Suku bunga sudah diturunkan, tapi laju kredit masih lebih rendah daripada laju pertumbuhan dana. Akibatnya, kredit yang ditargetkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai. Untuk menopang pertumbuhan ekonomi 5,8% setidaknya dibutuhkan pertumbuhan kredit 22% sampai dengan 25%.

Itulah peran perbankan dalam mendorong pertumbuhan kredit. Nah, kalau tidak ada kebijakan insentif yang mendorong perbankan, diperkirakan pertumbuhan kredit hanya sebatas angka-angka proyeksi. Jadi, kebijakan Kebon Sirih (BI) itu penting untuk didukung, namun tentunya perlu kompromi dengan kalangan perbankan.

Alasannya bukan karena bank-bank pelit memberikan kredit kepada dunia usaha, melainkan karena dunia usaha sendiri yang tidak mengambil kredit yang sudah cair. Angka kredit yang tidak dicairkan (undisbursed loan) terus mendaki dalam kurun waktu empat tahun terakhir, bahkan hingga lima kali. Posisi terakhir mencapai Rp500 triliun.

Angka kredit boleh saja berjalan lambat, tapi rapor bank tetap berkilau. Itulah gaya khas perbankan Indonesia. Ekspansi kredit rendah, tapi tingkat keuntungan tinggi. Sebagai bank yang berfungsi memberikan kredit, tentu laba akan terganggu. Nah, karena margin bank masih lebar—karena sifat sektor yang dibiayai tahan suku bunga (sektor konsumsi)—pendapatan bunga bank masih tetap besar.

Rapor tiga bulanan bank-bank di Indonesia menunjukkan prestasi yang meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ada kenaikan laba yang yang luar biasa tajamnya. Bank-bank besar mencatat laba yang lebih baik daripada tahun sebelumnya. Bank-bank itu adalah Bank Mandiri, Bank Danamon, Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta Bank Negara Indonesia (BNI).

Tidak hanya bank-bank itu, tapi juga bank-bank di bawahnya. Perolehan laba itu lebih banyak disebabkan oleh kemampuan bank dalam meningkatkan pendapatan bunga dan pendapatan nonoperasional.

Hal ini bisa jadi karena pada periode ini terjadi penurunan cost of loanable funds. Tidak seperti pada 2009, yang situasinya seperti sedang terbakar akibat efek krisis keuangan global. Likuiditas mengetat dan terjadi migrasi dana ke bank-bank yang dinilai lebih baik dan kokoh akibat efek bencana keuangan.

Bicara soal dana pihak ketiga (DPK) tentu tidak bisa lepas dari pengalaman nasabah Bank IFI, yang nasibnya masih terkatung-katung karena menerima imbalan lebih besar dari ketentuan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Perdebatan menyangkut bunga yang dijamin LPS menjadi pembicaraan menarik karena terjadi pro dan kontra mengenai pemberian voucher atau hadiah dalam penghitungan suku bunga.

Dalam pandangan umum, sepanjang bank menetapkan suku bunga di atas penjaminan, dana di atas Rp2 miliar tidak diganti kalau bank ditutup. Nah, dalam konteks bank yang masih hidup, praktik-praktik pemberian voucher, hadiah, maupun suku bunga di atas penjaminan, tentu risiko berada pada pemilik karena yang dijamin adalah Rp2 miliar dan sisanya ditanggung pemilik bank bersangkutan.

Untuk itu, dalam beleid baru nanti, apakah voucher, cash back ataupun barang yang diberikan secara langsung kepada nasabah, baik pada awal maupun ketika jatuh tempo, perlu lebih ditegaskan dari awal dengan sosialisasi yang baik. Jangan sampai, nanti akan mengalami masalah seperti nasabah Bank IFI.

Apa pun kebijakan voucher yang akan keluar nanti, yang pasti perlu sosialisasi yang baik, dan bank-bank yang menetapkan serta memberikan voucher atau kebijakan lain tetap tergantung banknya—dan juga tergantung nasabahnya.

Jika nasabahnya secara sadar, tentu menjadi risiko nasabah bersangkutan. Sepanjang bank masih hidup, maka kebijakan pemberian voucher sebagai upaya mempertahankan likuiditas dengan risiko yang harus diketahui nasabah.

Hal yang sama berlaku pada kebijakan mengaitkan LDR ideal (85%) dengan GWM, yang merupakan langkah yang baik. Namun, pemberian kredit bukan semata-mata menyebar uang ke dunia usaha secara jorjoran. Sebab, pemberian kredit yang serampangan juga akan menghasilkan kredit bermasalah (non performing loan atau NPL).

Hanya, masalahnya sekarang, siapkah bank-bank menghadapi beleid baru ini kalau toh persoalan sebenarnya ada di dunia usaha, bukan di sektor perbankan. Angka kredit yang tidak dicairkan di atas adalah cermin dari rendahnya daya serap kredit oleh dunia usaha.

Sementara, ide pembelian SSB (obligasi korporasi) dimasukkan dalam penghitungan LDR, kendati sulit diterima, patut digarisbawahi—karena pembelian obligasi korporasi juga secara tidak langsung mendorong dunia usaha. Apalagi, sangatlah tidak mungkin bank tidak mau memberikan kredit karena margin kredit masih lebih besar daripada surat berharga.

BI dan kalangan perbankan perlu menempuh jalan kompromi yang saling memahami peran masing-masing. Sebab, semua kebijakan itu membawa konsekuensi bagi bank yang rendah LDR-nya dan juga bagi bank yang sangat tinggi LDR-nya. (*)

sumber : infobanknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar